Hai sahabat, ah rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatiku ketika memanggilmu “sahabat”. Mungkin kita kini tidak terlihat seperti sepasang sahabat, bukan begitu? Bahkan kau tak pernah lagi menyapaku hingga aku pun segan untuk menyapamu. Betapa angkuhnya kita. Untuk menyapa saja masih mempertaruhkan harga diri haha.
Mungkin akar masalah ini adalah ketika kita saling mengacuhkan. Tak peduli satu sama lain. Ingatkah engkau ketika ada seorang lelaki sempat dekat denganku hingga secara tidak langsung menggantikan posisimu yang saat itu adalah sahabatku. Kita sempat perang dingin hanya karena masalah ini. Kau pikir aku sangat membelanya hingga kau tak mau mengucapkan sepatah kata pun jika kita bersua. Kau tahu aku jatuh cinta kepadanya dan kau menilai bahwa ia telah menggantikan posisimu sebagai partner sejati.
Kini boomerang itu mengarah kepadaku. Kau kini yang mengacuhkanku. Aku tahu kau sama sekali tak berniat begitu. Hanya rasa yang ada di dalam hati yang mengendalikan segala keadaan ini. Kau kini memiliki kekasih. Mungkin sama dengan keadaanku 6 tahun lalu. Tentu saja dialah prioritasmu. Harusnya aku tahu rasanya diacuhkan, ternyata sakit. Ini buah karma bagiku agar tak mengacuhkan orang lagi.
Ya, seorang wanita yang sedang dilanda dahsyatnya cinta akan lupa segalanya. Jangankan sahabatnya, terkadang kepada sang Pencipta pun ia lupa. Itulah manusia. Lemah dan tak berdaya akibat cinta.
Hey sahabat, sekarang aku memberanikan diri memanggilmu begitu. Rindu sekali mendengar tawa dan ceritamu. Rindu sekali menghabiskan waktu bersama hingga petang tiba. Rindu sekali mencurahkan isi hati di buku diary kita berdua. Rindu sekali bisa menyampaikan apa yang ku rasa. Rindu sekali itu hanya bisa kucurahkan disini. Aku tak memiliki keberanian untuk memberondongmu dengan peluru kata. Aku hanya ingin kau tahu bahwa di sudut hatiku, kau masih sahabatku.
Your Old Friend
(I know you knew who you are)
No comments:
Post a Comment